MALAIKAT BERSORBAN

Remuk rasanya hatiku. Sudah tiga hari ini Amira, putri bungsuku yang duduk di kelas 4 SD, merajuk dan tidak mau masuk sekolah.
Amira malu dan takut ditegur gurunya karena belum bisa membeli buku tematik dimana setiap siswa diwajibkan memilikinya.
Aku sendiripun tidak mengerti peraturan dari mana lagi dasarnya kewajiban membeli buku ini sementara pemerintah sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan wajib dan gratis belajar, khususnya untuk siswa sekolah dasar.
Bukannya aku sebagai ayahnya tidak mau membelikan, tapi pada kenyataannya, uang yang aku dapat setiap hari dari kerja serabutan atau bahkan berupa pinjaman dari sana sini, hanya cukup untuk membeli beras dan tahu tempe saja untuk makan kami bertiga seharian :  aku, istriku serta Amira.
Semenjak meninggalnya Dianti, kakak Amira yang juga sebagai anak sulungku, kesusahan memang seperti tidak habis-habisnya mendera dalam kehidupan kami sekeluarga.
Tidak sampai setahun semenjak meninggalnya Dianti, aku kehilangan pekerjaan sebagai supir pribadi yang telah aku lakoni selama sepuluh tahun terakhir ini.
Sesudah terungkapnya kasus korupsi majikanku dan beritanya tayang hampir di seluruh televisi nasional, seluruh anggota keluarga majikanku raib meninggalkan rumah berpindah entah ke kota mana.
Dan tinggallah aku sendiri kebingungan yang tanpa dipecat sekalipun otomatis sudah kehilangan pekerjaan sesudah majikanku ditahan dan berlanjut proses ke pengadilan.
Aku sudah berusaha mencoba mencari pekerjaan kesana kemari, tapi memang tak ada satu perusahaanpun yang mau menerima karyawan yang usianya di atas 50 tahun.
Ya, di usia yang setua ini aku masih mempunyai anak usia SD karena aku memang menikahnya  juga di usia yang sudah tidak muda lagi.
Aku bertemu mamanya Amira, seorang janda tanpa anak, ketika usiaku sudah mencapai empat puluhan.
Kami memang saling mencintai sejak awal perkenalan sampai sekarang, dan waktu telah membuktikan betapa setia dan tabahnya mamanya Amira mendampingi aku, terutama  dalam masa-masa sulit seperti sekarang ini.
Saat ini, sesudah kami diusir dari rumah kontrakan karena banyaknya tunggakan, kami terpaksa menumpang tinggal di sebuah rumah tua kosong yang sudah lama tidak dirawat oleh pemiliknya.
Beruntungnya  kami diizinkan untuk sementara menetap disana, sambil merawat rumah tersebut yang tentunya dengan fasilitas yang serba minim.

Hari ini, tepat di depan toko buku, lumayan jauh dari rumahku, waktu sudah menunjukkan jam 11.00 lewat. Di bawah teriknya sengatan matahari, sudah hampir dua jam aku menunggu seorang teman yang berjanji akan memberi pinjaman uang untukku. Atap teras depan toko buku tempat aku bernaung itupun tak mampu memberikan keteduhan melawan panasnya sinar matahari siang ini.
Aku tidak bisa mengontak temanku tersebut karena HP jadulku sudah habis pulsanya sejak tadi malam.
Kulihat ada beberapa tukang ojek mangkal tidak jauh dari tempat aku menunggu sedang asyik memainkan HP mereka. Dan ketika aku memutuskan  untuk meminta bantuan salah seorang dari tukang ojek tersebut untuk menghubungi temanku, dengan tiba-tiba saja muncul satu pesan SMS melalui HP-ku.
Pesan SMS dari temanku itu sungguh membuatku lemas lunglai : “Maaf, Mas Wawan, baru bisa ngabarin, aku dalam perjalanan ke luar kota, adikku kena musibah kecelakaan disana.”
Ya Allah, batinku, begini susahkah Engkau timpakan jalannya rezeki untuk aku, bahkan untuk sekedar membelikan satu buku tematik saja.
Geram rasanya hati ini dan entah bagaimana tiba-tiba saja muncul bisikan setan ke dalam jiwa ini untuk melakukan satu perbuatan nekad.
Aku lirik toko buku itu, kelihatannya sedang sepi pengunjungnya dan terbesit dalam hati untuk masuk dan mencuri buku yang diperlukan Amira.
Dengan agak gemetar aku langkahkan kakiku memasuki toko buku tersebut dan tidak memerlukan waktu lama bagiku untuk menemukan rak dimana buka tematik yang aku cari ada disana.
Dengan tangan yang gemetar kuraih buku itu, dan sambil menoleh kanan kiri, dengan cepat  kumasukkan barang curian itu ke bagian dalam baju kaos dibalik jaketku.

Langkahku yang bergegas menuju ke pintu keluar, tertahan ketika seorang petugas security toko buku dengan sigap mendatangiku dan berkata dengan nada suara yang keras : “Coba anda keluarkan dan perlihatkan apa yang anda ambil dari rak tadi.”
Ya Allah, bumi serasa berputar dengan tiba-tiba, alangkah sial dan memalukannya, sejak anak-anak sampai seusia tua ini untuk pertama kalinya aku melakukan perbuatan mencuri dan kontan langsung ketangkap basah.
Tiga laki-laki karyawan toko ikut bergegas mendatangi aku, dan dalam waktu yang singkat aku sudah digelandang ke gedung lain yang merupakan kantor pusat dari toko buku tersebut. Gedung tersebut terletak dua bangunan arah ke kanan. Rasanya tak ada muka lagi aku menatap siapapun ketika dengan tangan terborgol aku setengah diseret di bawa menuju tempat tersebut.

Ketika kakiku sudah melangkah ke dalam melalui pintu depan kantor toko buku untuk keperluan interogasi, tiba-tiba terdengar teriakan salam yang sangat lantang dari arah belakang : “Assalamu’alaikum, hai mau dibawa kemana pamanku ???”

Dan ketika kami semua menoleh ke belakang, dengan tiba-tiba saja di dalam ruangan itu sudah muncul seorang lelaki bergamis putih dengan sorban melingkar di atas kepalanya. Jelas terdengar wibawa suaranya : “Mau kalian apakan pamanku ????”
Aku sendiri tidak habis pikir, mengapa lelaki bersorban itu menyebut aku sebagai pamannya.
Dengan cepat security itu menjelaskan bahwa aku dicurigai mencuri sebuah buku sambil memperlihatkan bukti barangnya.
Lelaki bersorban itu mendekati security itu dan membisikkan sesuatu, dan ajaib, sesudah bisikan dari lelaki bersorban itu security langsung melepaskan borgol pada tanganku dan menyerahkan aku kepadanya.
Lelaki bersorban itu mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan dari kantongnya dan sambil menyerahkannya kepada security, dia berkata :
“Buku itu aku beli, dan kembaliannya kalian ambil saja, bagi berempat.”
Security dan tiga karyawan itupun seperti tersihir, terpana, belum sempat mengatakan apapun ketika lelaki bersorban itu menggandeng tanganku dan dengan bergegas membawaku ke dalam mobilnya yang langsung melaju dengan kencangnya.

Di dalam mobil, sebelum sampai ke suatu masjid yang lumayan jauh dari tempat kejadian barusan, lelaki bersorban itu sempat menyilahkan aku untuk menghabiskan sepotong donat besar dan sebotol minuman kemasan yang ada dalam mobil.

Aku yang sejak pagi tadi memang belum sarapan, dengan masih diliputi rasa bingung segera menghabiskan makanan dan minuman tersebut dengan lahapnya.

Malaikat Bersorban, bagian ke 2 : klik disini
Malaikat Bersorban, bagian ke 3 : klik disini

 

Comments

Popular posts from this blog

PROFIL HARIS FADHILAH SYARIF

PERKENALKAN BISNISKU

ECO FARMING PRODUCT

HIT COUNTER

Flag Counter

Alhamdulillah for all the chances You give to us, my Lord

Calendar Widget by CalendarLabs